Silaturahmi adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubungnya silaturahmi, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana pun besarnya umat Islam secara kuantitatif, sama sekali tidak ada artinya bila di dalamnya tidak ada persatuan dan kerja sama untuk taat kepada Allah.
Silaturahmi tidak sekedar bersentuhan tangan atau memohon maaf belaka. Ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati. Hal ini sesuai dengan asal kata dari silaturahmi itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang. Makna menyambungkan menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. Menghimpun biasanya mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan, menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Tentang hal ini :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ اْلعَاصِ رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لَيْسَ اْلوَاصِلُ بِاْلمُكَافِئِ، وَ لكِنَّ اْلوَاصِلَ الَّذِى اِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا. البحارى
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash RA, Nabi SAW bersabda, “Bukan yang disebut menyambung persaudaraan itu seorang yang membalas hubungan kebaikan, tetapi menyambung persaudaraan itu ialah jika kerabatnya memutuskan hubungan, dia menyambungnya”. (HR. Bukhari).
Penciptaan manusia itu pada dasarnya rumit, sebab terkait dengan berbagai dimensi yang satu sama lain saling terhubung. “Kalau kita perhatikan ayat 110 pada Surat Al Kahfi, manusia itu dipanggil dengan sebutan basyar. Dalam hal ini, yang digambarkan dalam diri manusia adalah aspek biologisnya. Nabi Muhammad sendiri menyatakan dirinya sebagai al-basyar. Aku ini sama seperti kalian. Begitu ketegasan beliau. Yang dimaksud sama di sini adalah aspek biologisnya—bahwa secara fisik, Nabi Muhammad itu sama seperti kita. Perbedaannya kita dengan Nabi Muhammad yaitu beliau menerima wahyu dan dima’sum, sedangkan kita tidak. Beliau itu punya nenek moyang dan keturunan, sama halnya dengan kita. Berbeda, misalnya, dengan nabi pada agama lain yang sering dianggap setengah Tuhan atau setengah malaikat,” tuturnya.
Yang kedua, manusia sering dipanggil dengan bani Adam, atau diterjemahkan sebagai keturunan Nabi Adam. Hal ini di antaranya dapat kita lihat pada Surat Al-‘Arof ayat 31. “Manusia sebagai bani Adam artinya manusia itu punya sejarah, yang satu sama lain berbeda-beda. Manusia itu dibentuk atau dimotivasi oleh sejarah hidupnya. Karena itu, faktor sejarah tersebut berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Bahwa manusia itu diciptakan dengan sifat-sifatnya yang suka berkeluh kesah atau putus asa, juga sering lupa diri. Kalau manusia mampu mengatasi hal-hal tersebut, lalu membuahkan sifat sabar serta syukur, maka derajat yang bersangkutan akan naik menjadi al-insan.”
Jika al-basyar terkait dengan dimensi fisik, maka al-insan terkait dengan dimensi psikis. Sungguh berbahagia jika manusia mampu mengolah dimensi psikisnya, sehingga ia memiliki jiwa yang tenang atau mutmainnah. Tuhan pun berseru, hai manusia yang berjiwa tenang, kembalilah dan masuklah ke dalam surga-Ku! Dalam Al-Quran dijelaskan, tempat kembali manusia berjiwa tenang adalah rodiyatan mardiyyah.
Keempat, Tuhan menyebut manusia itu dengan panggilan an-nas. Cukup banyak ayat pada kitab suci yang menyeru manusia dengan panggilan yaa ayuhan nas, yang artinya hai segenap manusia! Istilah an-nas menunjukkan bahwa manusia itu mahluk sosial, serta keberadannya selalu dihubungkan dengan ahlak.
Tausiyah diakhiri dengan doa yang dipandu oleh Ust. Dr. H. Aam Amiruddin, M.Si.